Kamis, 13 Januari 2022

Inilah kasus pelanggaran MEREK yang terjadi di Indonesia!!

Berikut adalah kasus pelanggaran merek yang ada di Indonesia!!!


    Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta menandatangani persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO) dan termasuk didalamnya perjanjian mengenai aspek-aspek perdagangan yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Perjanjian internasional tersebut diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Tujuan WTO, adalah: (1). Akses pasar bagi produk-produk ekspor melalui penurunan dan penghapusan tarif bea masuk, pembatasan kuantitatif, hambatan perdagangan non-tarif lainnya, (2). Memperluas cakupan produk perdagangan internasional, termasuk perdagangan di bidang jasa, pengaturan mengenai aspekaspek dagang dari HKI dan kebijakan investasi yang berkaitan dengan perdagangan, (3). Peningkatan peranan GATT dalam mengawasi pelaksanaan komitmen yang telah dicapai, dan memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuanketentuan GATT, (4). Peningkatan sistem GATT supaya lebih tanggap terhadap perkembangan situasi perekonomian, serta mempererat hubungan GATT dengan organisasi-organisasi internasional terkait khususnya dengan prospek perdagangan produk-produk berteknologi tinggi, dan (5). Pengembangan kerjasama pada tingkat nasional maupun internasional dalam rangka memadukan kebijakan perdagangan dan kebijakan ekonomi lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian, melalui usaha memperbaiki sistem moneter internasional (Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994).

Diantara perjanjian-perjanjian tersebut ada saja pihak yang melakukan pelanggaran HKI hanya untuk mencari keuntungan dari usaha orang lain yang sudah berdiri dan sudah memberikan keuntungan kepada pemiliknya, kasus tersebut diantaranya:

1.      Kasus Geprek Bensu dan I Am Geprek Bensu

Pemakaian nama Bensu sebagai merek dagang sebenarnya sudah lebih dahulu digunakan oleh PT Ayam Geprek Benny Sujono. Bensu merupakan singkatan nama dari pemiliknya, Benny Sujono, yang mendirikan usaha ayam geprek dengan nama I Am Geprek Bensu. Dua pengusaha dari PT Ayam Geprek Benny Sujono, Yancent Kurniawan dan Stefani Livinus, mendirikan I Am Geprek Bensu di April 2017. Mereka meminta Jordi Onsu menjadi manajer operasional. Jordi lalu menawarkan sang kakak, Ruben Onsu menjadi duta promosi yang akhirnya disetujui pemilik.

2.      Kasus Pierre Cardin

Pierre Cardin adalah seorang perancanng busana terkenal asal Perancis yang menggunakan namanya dalam berbagai macam produk busana. Tim hukumnya pernah mengajukan gugatan merek melawan Alexanter Satryo Wibowo yang merupakan pengusaha lokal asal Indonesia. Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menolak gugatan yang dilayangkan oleh Pierre Cardin. Salah satu alasannya adalah majelis hakim mengakui adanya merek Pierre Cardin milik Alexander yang telah didaftarkan terlebih dahulu pada 29 Juli 1977. Tidak berhenti sampai disitu, Pierre Cardin melanjutkan perkara tersebut sampai tingkat Kasasi. Namun, upaya ini lagi-lagi kandas. Hal ini ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Agung dalam putusan perkara Nomor 557/K/Pdt.Sus-HKI/2015 bahwa Alexander sebagai pemilik merek Pierre Cardin lokal memiliki pembeda dalam produknya. “Termohon memiliki pembeda dengan selalu mencantumkan kata-kata Product by PT.Gudang Rejeki sebagai pembeda, disamping keterangan lainnya sebagai produk Indonesia. Sehingga dengan demikian menguatkan dasar pemikiran bahwa merk tersebut tidak mendompleng keterkenalan merk lain,” demikian bunyi pertimbangan majelis kasasi.

3.      Kasus Lexus

Merek Lexus dari Toyota Motor Corporation, perusahaan yang sudah berdiri sejak 28 Agustus 1937, juga pernah menjadi objek sengketa di pengadilan. Kasus ini berawal ketika pemilik merek Lexus mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melawan ProLexus yang merupakan perusahaan milik lokal. Lexus sebagai Penggugat meminta agar pendaftaran merek ProLexus dapat dibatalkan karena dianggap telah melakukan itikad tidak baik, yaitu menggunakan nama ProLexus dengan tujuan untuk ‘membonceng’ nama yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Selain itu, dalam gugatannya, pihak Lexus mengatakan bahwa hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan yang nantinya menyebabkan masyarakat berpendapat kalau antara Lexus dan ProLexus memiliki keterkaitan di bidang usaha. Akan tetapi, Majelis hakim memenangkan pihak ProLexus, baik pada tingkat pertama dan juga pada tingkat kasasi. Pada saat pemiliki merek Lexus kembali mengajukan permohonan kasasi, pihak lawan, ProLexus mengajukan keberatan yang diantaranya menyebutkan bahwa kurangnya pihak yang disebut dalam gugatan. “Bahwa sejatinya, suatu gugatan haruslah lengkap pihak-pihaknya. Oleh karena dalam surat gugatan Penggugat a quo tidak menarik Direktorat Merek sebagai pihak Tergugat/Turut Tergugat meskipun secara factual kedudukan Direktorat Merek sangat penting sebagaimana telah diuraikan dalam surat gugatan Penggugat sendiri pada posita point 12, 13 serta petitum point 5 dan 6, maka praktis menjadikan gugatan Penggugat a quo menjadi kurang pihak,” demikian isi dari eksepsi yang termuat dalam perkara nomor 450_K_Pdt.Sus-HKI_2014. Selain itu, majelis hakim juga mengabulkan keberatan yang diajukan oleh pihak ProLexus bahwa gugatan tersebut telah lewat waktu atau daluwarsa. Hal tersebut dikarenakan gugatan yang diajukan oleh pemegang merek Lexus sebagai merek mobil baru diajukan pada tanggal 03 Desember 2013, sedangkan merek ProLexus sebagai merek sepatu atau sandal yang sudah didaftarkan sejak 29 September 2000. Sehingga dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan dapat mengabulkan keberatan yang diajukan oleh pihak ProLexus dalam hal kurangnya pihak dan juga batas waktu atau daluwarsa. “Menerima dan mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh Tergugat sepanjang mengenai daluwarsa dan kekurangan pihak,” demikian kutipan dari putusan tersebut.

4.     Kasus Monster Energy Company

Pada Tahun 2015, terdapat satu lagi kasus mengenai merek dimana pemilik merek asing sebagai Penggugat sekaligus Pemohon tidak dimenangkan oleh Majelis Hakim. Monster Energy Company, dahulu bernama Hansen Beverage Company merupakan perusahaan minuman asal California, Amerika Serikat yang melayangkan gugatannya melawan Andria Thamrun, pemilik merek lokal yang juga bernama monster ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu yang menjadi alasan pemilik merek California mengajukan gugatan tersebut karena merasa bahwa merek Monster lokal memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Monster Energy yang berasal dari Amerika Serikat tersebut. Majelis hakim tingkat pertama menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima. Kasus tersebut berlanjut sampai ke tingkat kasasi. Dalam putusan nomor 70/Pdt.SUS/Merek/2014/PN.Niaga Jkt.Pst, Majelis Hakim kembali menolak permohonan kasasi dari pihak Monster energy California dan mengabulkan keberatan dari pemilik merek lokal dikarenakan gugatan tersebut prematur. Majelis hakim menyatakan bahwa gugatan tersebut memang belum waktunya untuk diajukan. “Majelis Hakim berkesimpulan memang sesuai hukum acara perdata pihak Penggugat harus menunggu terlebih dahulu putusan dari Komisi Banding Merek sehingga tidak ada putusan yang saling tumpang tindih dan oleh karenanya gugatan Penggugat mengenai penghapusan pendaftaran Merek milik Tergugat di bawah daftar No. IDM000232502 belum waktunya untuk diajukan gugatan a quo, dengan demikian gugatan Penggugat bersifat prematur,” demikian kesimpulan majelis hakim dalam putusan tersebut.

5.      Kasus Bioneuron

Awal September 2015, PT Phapros yang merupakan perusahaan lokal berasal dari Semarang mengajukan permohonan kasasi melawan Merck KGaA yang merupakan perusahaan farmasi multinasional berasal dari Jerman. Kasus ini berawal pada Januari 2015, dimana Merck mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pemilik Merck menilai bahwa PT Phapros telah menggunakan nama merek Bioneuron tanpa sepengetahuannya yang memiliki kesamaan bentuk, ucarapan dan bunyi. Hal tersebut dianggap dapat membuat konsumen keliru dalam membedakan perusahaan pemilik merek yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, PT Phapros sebagai Tergugat menganggap bahwa gugatan tersebut mengada-ada sehingga tidak dapat dibenarkan. Majelis Hakim dalam pengadilan tingkat pertama memutuskan bahwa pihak Merck sebagai Penggugat dapat menguatkan dalil-dalilnya sehingga pada tingkat pertama, pihak Merck dimenangkan. Tidak terima dengan keputusan Majelis Hakim pada tingkat pertama, PT Phapros mengajukan permohonan kasasi karena merasa bahwa Majelis Hakim dalam pengadilan tingkat pertama terkesan memihak. “Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut sangatlah bersikap memihak kepada Termohon Kasasi sehingga bertentangan dengan prosedur beracara dan melanggar asas Mendengar kedua belah pihak yang berperkara (Horen van Beide Partijen),” demikian kutipan dari salah satu memori kasasi PT Phapron. Majelis hakim menolak permohonan kasasi tersebut dengan menyatakan bahwa majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama tidak salah dalam menerapkan hukum. “Setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 29 Januari 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 25 Februari 2015 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum,” demikian pernyataan majelis hakim pada putusan perkara nomor 409 K/Pdt.Sus-HKI/2015.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/15/150454865/selain-geprek-bensu-berikut-5-kasus-sengketa-merek-dagang-di-indonesia?page=all

Irawan, Candra (2017) POLITIK HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDONESIA. CV Mandar Maju, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SHARING SESSON PENGADIAN KEPADA MASYARAKAT

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang biasa dikenal LPPM, pada hari kamis 30 Juni 2022 mengadakan kegiatan "Sharing ...